As-Sa’di t mengatakan, “Tazkiyah (penyucian) memiliki dua makna:
pembersihan dari kotoran dan membekalinya dengan kebaikan.” (Tafsir as-Sa’di,
surat Thaha: 76)
Ibnu Taimiyyah t mengatakan,
“Jiwa akan suci dengan meninggalkan hal yang diharamkan dan melaksanakan yang
diperintahkan oleh Allah l.” (az-Zuhd wal Wara’)
“Demi jiwa dan
penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7—10)
Ibnu Taimiyah t menjelaskan
ayat berikut,
“Sekiranya bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun
dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya.” (an-Nur: 21)
“Allah l menerangkan bahwa kesucian hanyalah akan diperoleh
dengan meninggalkan perbuatan keji. Oleh karena itu, Allah l berfirman,
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ (an-Nur: 30)
Hal itu karena meninggalkan kejelekan-kejelekan adalah amalan
jiwa. Jiwa mengetahui bahwa amal jelek adalah tercela dan dibenci memperbuatnya.
Maka dari itu, jiwa hendaknya melawan saat dirinya mengajak kepadanya, jika ia
benar-benar beriman dengan kitab Rabbnya dan beriman dengan apa yang datang
dari Nabinya. Jadi, percaya, iman, benci, dan melawan hawa nafsu adalah amalan
jiwa yang suci sehingga akan semakin suci dengan melakukannya. Berbeda halnya
bilamana dia melakukan berbagai kejelekan. Jiwa akan ternodai dengannya dan
tidak berkembang, ibarat tanaman yang di sekelilingnya tumbuh semak-semak yang
lebat.” (az-Zuhd wal Wara’)
Beliau juga mengatakan, “Oleh
karena itu, tauhid dan iman adalah amalan terbesar yang membuat jiwa bersih dan
berkembang. Sebaliknya, syirik adalah sebab terbesar yang akan mengotorinya.
Jiwa akan semakin suci dan berkembang dengan amal saleh dan sedekah. Ini semua
telah disebutkan oleh ulama salaf. Mereka menafsirkan firman Allah
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri.”
(al-A’la: 14)
bahwa maknanya adalah bersuci
dari perbuatan syirik dan maksiat dengan bertaubat.
Abu Sa’id, ‘Atha, dan Qatadah
menafsirkan bahwa maksudnya adalah zakat fitrah.
Mereka tidak membatasi bahwa
ayat tersebut hanya bermakna demikian. Akan tetapi, maksud mereka adalah orang
yang menunaikan zakat fitrah dan melakukan shalat id telah tercakup oleh ayat
tersebut dan yang setelahnya. Oleh karena itu, setiap kali keluar untuk shalat,
Yazid bin Abi Habib t keluar membawa sedekah untuk ia berikan sebelum shalat,
walaupun ia tidak mendapatkan selain hanya sepotong bawang.
Allah l berfirman,
‘Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ (at-Taubah: 103)
Artinya, membersihkan dari dosa dan akhlak yang hina, segala
yang jelek, mengembangkan dan menambahkan kepada mereka akhlak yang baik, amal
yang saleh, serta menambahkan pahala mereka yang duniawi atau ukhrawi, juga
amal mereka bertambah. (Tafsir as-Sa’di dan az-Zuhd wal Wara’)
Allah l juga berfirman,
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (an-Nur: 30)
As-Sa’di t menjelaskan,
“Allah l membimbing kaum mukminin (dengan memerintah Nabinya untuk) mengatakan
kepada mereka yang memiliki iman yang dapat mencegah mereka dari terjatuh
kepada sesuatu yang mencacat iman mereka agar ‘menundukkan pandangan mereka’
dari memandang aurat wanita yang bukan mahram, (memandang dengan syahwat –pen.)
amrad (anak laki-laki yang belum berjenggot), yang dengan itu dikhawatirkan
mereka tergoda kepada maksiat. Demikian pula memandang perhiasan dunia yang
melenakan sehingga menjatuhkannya dalam larangan.
Selain itu juga agar mereka
‘menjaga kemaluan mereka’ dari zina, menggauli pada dubur (sodomi), dan
sejenisnya, serta mencegah mereka pula agar tidak memiliki peluang dan
kesempatan melakukannya, dengan melarang menyentuh dan memandang hal-hal
tersebut. ‘Hal itu’ yakni menjaga pandangan dan kemaluan, ‘lebih suci bagi
mereka’, maksudnya, lebih baik dan bersih, selain juga lebih menambah
berkembangnya amal mereka. Karena, orang yang menjaga kemaluan dan pandangannya
berarti telah membersihkan jiwa dari kotoran yang telah mengotori para pelaku
perbuatan keji. Amal mereka akan suci dan berkembang karena meninggalkan yang
haram, yang jiwa berharap melakukannya dan mengajak kepadanya.
Maka dari itu, barang siapa
meninggalkan sesuatu karena Allah l, niscaya Dia akan menggantikan dengan yang
lebih baik. Barang siapa menundukkan pandangannya dari yang haram, Allah l akan
menerangi mata batinnya. Sebab, apabila seorang hamba menjaga kemaluan dan
pandangannya dari yang haram dan dari pendahuluan-pendahuluannya, padahal
syahwat mendorong kepadanya, berarti dia lebih bisa menjaga dari yang lain.
(Tafsir as Sa’di)
Ibnu Katsir t menjelaskan
firman Allah l,
Bisa jadi, makna “telah beruntung seseorang yang menyucikan
dirinya” adalah dengan taat kepada Allah l—sebagaimana dikatakan oleh Qatadah
t—dan membersihkannya dari akhlak yang rendah dan hina.
Pada firman Allah l,
Pada firman Allah l,
Ibnu Katsir t mengatakan,
“Maksudnya, membersihkan dirinya dari akhlak yang hina dan mengikuti apa yang
diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim)
As-Sa’di t menafsirkan, “Sungguh, telah beruntung seseorang yang
menyucikan jiwanya dan membersihkannya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang
jelek.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Atas dasar itu, seseorang
yang menghendaki kesucian jiwanya hendaknya menegakkan tauhid dan akidah yang
benar dalam dirinya, menghiasi dirinya dengan rukun iman yang enam dan
perinciannya, selalu tunduk kepada Allah l, bersabar, bersyukur, merasa cukup
dengan pemberian Allah l (qana’ah), zuhud terhadap dunia, ridha atas ketetapan
Allah l, tawakal kepada-Nya, takut hanya kepada-Nya, berharap kepada-Nya,
bertaubat kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, mengikhlaskan untuk-Nya
segala ibadahnya, mengamalkan rukun Islam dengan sempurna, berbakti kepada
kedua orang tua, bersilaturahmi dengan karib kerabatnya, berbuat baik kepada
tetangga, memuliakan tamu, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang
lebih muda, berbelas kasih kepada fakir dan miskin, bahkan kepada binatang
sekalipun.
Selain itu, ia juga berjihad
menundukkan jiwanya untuk taat kepada Allah l, berjihad membantah
pemutarbalikan berita dari orang munafik, berjihad melawan godaan setan, dan
berjihad melawan orang-orang kafir yang memerangi muslimin. Di samping itu
pula, ia bersyahadat dengan kalimat syahadatain, membaca al-Qur’an, membasahi
bibir dengan ucapan-ucapan zikir, memberi nasihat kepada oarng lain, beramar
ma’ruf dan nahi mungkar, dan tidak bertutur kata selain yang baik, apabila
tidak bisa, dia diam.
Demikian pula, dia
meninggalkan kesyirikan, menyekutukan Allah l, meninggalkan kekafiran dalam
bentuk apa pun, meninggalkan kemunafikan, membersihkan kalbunya dari iri,
dengki, bangga diri, sombong, riya’, cinta kedudukan dan dunia tanpa bimbingan
iman, merasa telah banyak beramal (ghurur), tamak, ambisi terhadap kedudukan,
kemarahan bukan pada tempatnya, memusuhi muslimin, bakhil, dan berpaling dari
mengingat Allah l.
Dia juga menjauhi perbuatan
zalim, mengganggu tetangga, memutus silaturahmi, durhaka kepada orang tua, menyakiti
sesama, memukul, membunuh, merendahkan kehormatan, menyakiti perasaan, ghibah
(mengumpat), namimah (mengadu domba), mencuri, merampok, menipu, dan
berkhianat. Demikian pula ia meninggalkan zina, pacaran, dan segala hal yang
mengarah kepadanya, mabuk, berjudi, melakukan riba, menyiksa walaupun terhadap
binatang, mengumbar pandangan, mendengar obrolan orang yang tidak suka untuk
didengarkan, mencari-cari kesalahan orang, dan seluruh perbuatan mungkar, baik
dengan kalbu, tangan, lidah, maupun seluruh anggota badannya. Ini semua hanya
contoh. Rinciannya adalah Islam ini secara total.
Tujuh anggota badan yang
harus senantiasa diawasi adalah mata, telinga, mulut, lidah, kemaluan, tangan,
dan kaki.
Kata Ibnul Qayyim t, “Ini
adalah kendaraan menuju kebinasaan atau keselamatan. Akibat tujuh anggota badan
ini binasalah orang yang binasa karena membiarkannya dan melepasnya, dan
selamatlah orang yang selamat dengan sebab menjaga dan mengawasinya. Menjaganya
adalah modal segala kebaikan, sedangkan melepasnya tanpa kendali adalah modal
segala kejelekan.” (Ighatsatul Lahafan)
0 Masukan:
Posting Komentar