Ads 468x60px

Rabu, 07 November 2012

MENITI JALAN YANG SUCI


As-Sa’di t mengatakan, “Tazkiyah (penyucian) memiliki dua makna: pembersihan dari kotoran dan membekalinya dengan kebaikan.” (Tafsir as-Sa’di, surat Thaha: 76)
Ibnu Taimiyyah t mengatakan, “Jiwa akan suci dengan meninggalkan hal yang diharamkan dan melaksanakan yang diperintahkan oleh Allah l.” (az-Zuhd wal Wara’)
“Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7—10)
Ibnu Taimiyah t menjelaskan ayat berikut,
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (an-Nur: 21)

“Allah l menerangkan bahwa kesucian hanyalah akan diperoleh dengan meninggalkan perbuatan keji. Oleh karena itu, Allah l berfirman,
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ (an-Nur: 30)
Hal itu karena meninggalkan kejelekan-kejelekan adalah amalan jiwa. Jiwa mengetahui bahwa amal jelek adalah tercela dan dibenci memperbuatnya. Maka dari itu, jiwa hendaknya melawan saat dirinya mengajak kepadanya, jika ia benar-benar beriman dengan kitab Rabbnya dan beriman dengan apa yang datang dari Nabinya. Jadi, percaya, iman, benci, dan melawan hawa nafsu adalah amalan jiwa yang suci sehingga akan semakin suci dengan melakukannya. Berbeda halnya bilamana dia melakukan berbagai kejelekan. Jiwa akan ternodai dengannya dan tidak berkembang, ibarat tanaman yang di sekelilingnya tumbuh semak-semak yang lebat.” (az-Zuhd wal Wara’)
Beliau juga mengatakan, “Oleh karena itu, tauhid dan iman adalah amalan terbesar yang membuat jiwa bersih dan berkembang. Sebaliknya, syirik adalah sebab terbesar yang akan mengotorinya. Jiwa akan semakin suci dan berkembang dengan amal saleh dan sedekah. Ini semua telah disebutkan oleh ulama salaf. Mereka menafsirkan firman Allah
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (al-A’la: 14)
bahwa maknanya adalah bersuci dari perbuatan syirik dan maksiat dengan bertaubat.
Abu Sa’id, ‘Atha, dan Qatadah menafsirkan bahwa maksudnya adalah zakat fitrah.
Mereka tidak membatasi bahwa ayat tersebut hanya bermakna demikian. Akan tetapi, maksud mereka adalah orang yang menunaikan zakat fitrah dan melakukan shalat id telah tercakup oleh ayat tersebut dan yang setelahnya. Oleh karena itu, setiap kali keluar untuk shalat, Yazid bin Abi Habib t keluar membawa sedekah untuk ia berikan sebelum shalat, walaupun ia tidak mendapatkan selain hanya sepotong bawang.
Allah l berfirman,
‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ (at-Taubah: 103)
Artinya, membersihkan dari dosa dan akhlak yang hina, segala yang jelek, mengembangkan dan menambahkan kepada mereka akhlak yang baik, amal yang saleh, serta menambahkan pahala mereka yang duniawi atau ukhrawi, juga amal mereka bertambah. (Tafsir as-Sa’di dan az-Zuhd wal Wara’)
Allah l juga berfirman,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (an-Nur: 30)
As-Sa’di t menjelaskan, “Allah l membimbing kaum mukminin (dengan memerintah Nabinya untuk) mengatakan kepada mereka yang memiliki iman yang dapat mencegah mereka dari terjatuh kepada sesuatu yang mencacat iman mereka agar ‘menundukkan pandangan mereka’ dari memandang aurat wanita yang bukan mahram, (memandang dengan syahwat –pen.) amrad (anak laki-laki yang belum berjenggot), yang dengan itu dikhawatirkan mereka tergoda kepada maksiat. Demikian pula memandang perhiasan dunia yang melenakan sehingga menjatuhkannya dalam larangan.
Selain itu juga agar mereka ‘menjaga kemaluan mereka’ dari zina, menggauli pada dubur (sodomi), dan sejenisnya, serta mencegah mereka pula agar tidak memiliki peluang dan kesempatan melakukannya, dengan melarang menyentuh dan memandang hal-hal tersebut. ‘Hal itu’ yakni menjaga pandangan dan kemaluan, ‘lebih suci bagi mereka’, maksudnya, lebih baik dan bersih, selain juga lebih menambah berkembangnya amal mereka. Karena, orang yang menjaga kemaluan dan pandangannya berarti telah membersihkan jiwa dari kotoran yang telah mengotori para pelaku perbuatan keji. Amal mereka akan suci dan berkembang karena meninggalkan yang haram, yang jiwa berharap melakukannya dan mengajak kepadanya.
Maka dari itu, barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah l, niscaya Dia akan menggantikan dengan yang lebih baik. Barang siapa menundukkan pandangannya dari yang haram, Allah l akan menerangi mata batinnya. Sebab, apabila seorang hamba menjaga kemaluan dan pandangannya dari yang haram dan dari pendahuluan-pendahuluannya, padahal syahwat mendorong kepadanya, berarti dia lebih bisa menjaga dari yang lain. (Tafsir as Sa’di)
Ibnu Katsir t menjelaskan firman Allah l,
Bisa jadi, makna “telah beruntung seseorang yang menyucikan dirinya” adalah dengan taat kepada Allah l—sebagaimana dikatakan oleh Qatadah t—dan membersihkannya dari akhlak yang rendah dan hina.
Pada firman Allah l,
Ibnu Katsir t mengatakan, “Maksudnya, membersihkan dirinya dari akhlak yang hina dan mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim)
As-Sa’di t menafsirkan, “Sungguh, telah beruntung seseorang yang menyucikan jiwanya dan membersihkannya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang jelek.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Atas dasar itu, seseorang yang menghendaki kesucian jiwanya hendaknya menegakkan tauhid dan akidah yang benar dalam dirinya, menghiasi dirinya dengan rukun iman yang enam dan perinciannya, selalu tunduk kepada Allah l, bersabar, bersyukur, merasa cukup dengan pemberian Allah l (qana’ah), zuhud terhadap dunia, ridha atas ketetapan Allah l, tawakal kepada-Nya, takut hanya kepada-Nya, berharap kepada-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, mengikhlaskan untuk-Nya segala ibadahnya, mengamalkan rukun Islam dengan sempurna, berbakti kepada kedua orang tua, bersilaturahmi dengan karib kerabatnya, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, berbelas kasih kepada fakir dan miskin, bahkan kepada binatang sekalipun.
Selain itu, ia juga berjihad menundukkan jiwanya untuk taat kepada Allah l, berjihad membantah pemutarbalikan berita dari orang munafik, berjihad melawan godaan setan, dan berjihad melawan orang-orang kafir yang memerangi muslimin. Di samping itu pula, ia bersyahadat dengan kalimat syahadatain, membaca al-Qur’an, membasahi bibir dengan ucapan-ucapan zikir, memberi nasihat kepada oarng lain, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, dan tidak bertutur kata selain yang baik, apabila tidak bisa, dia diam.
Demikian pula, dia meninggalkan kesyirikan, menyekutukan Allah l, meninggalkan kekafiran dalam bentuk apa pun, meninggalkan kemunafikan, membersihkan kalbunya dari iri, dengki, bangga diri, sombong, riya’, cinta kedudukan dan dunia tanpa bimbingan iman, merasa telah banyak beramal (ghurur), tamak, ambisi terhadap kedudukan, kemarahan bukan pada tempatnya, memusuhi muslimin, bakhil, dan berpaling dari mengingat Allah l.
Dia juga menjauhi perbuatan zalim, mengganggu tetangga, memutus silaturahmi, durhaka kepada orang tua, menyakiti sesama, memukul, membunuh, merendahkan kehormatan, menyakiti perasaan, ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), mencuri, merampok, menipu, dan berkhianat. Demikian pula ia meninggalkan zina, pacaran, dan segala hal yang mengarah kepadanya, mabuk, berjudi, melakukan riba, menyiksa walaupun terhadap binatang, mengumbar pandangan, mendengar obrolan orang yang tidak suka untuk didengarkan, mencari-cari kesalahan orang, dan seluruh perbuatan mungkar, baik dengan kalbu, tangan, lidah, maupun seluruh anggota badannya. Ini semua hanya contoh. Rinciannya adalah Islam ini secara total.
Tujuh anggota badan yang harus senantiasa diawasi adalah mata, telinga, mulut, lidah, kemaluan, tangan, dan kaki.
Kata Ibnul Qayyim t, “Ini adalah kendaraan menuju kebinasaan atau keselamatan. Akibat tujuh anggota badan ini binasalah orang yang binasa karena membiarkannya dan melepasnya, dan selamatlah orang yang selamat dengan sebab menjaga dan mengawasinya. Menjaganya adalah modal segala kebaikan, sedangkan melepasnya tanpa kendali adalah modal segala kejelekan.” (Ighatsatul Lahafan)

0 Masukan:

Posting Komentar